Sejarah Singkat Perjuangan Alm. KH. Ruhiat dalam Membina Pondok Pesantern Cipasung
Alm.
KH. Ruhiat mendirikan dan memimpin pondok Pesantren ini sejak
didirikannya, yaitu akhir tahun 1931, sampai wafatnya tanggal 28
November 1977 bertepatan dengan 17 Dzulhijjah 1397 H. Dalam kurun waktu
46 tahun itu tidaklah sedikit suka dan duka yang menyertai beliau,
terutama pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Hal ini dapat
dibuktikan pada derap lajunya Pondok Pesantren CIpasung pada masa itu
dan masa-masa setelah kemerdekaan negeri ini.
1. Pondok Pesantren Cipasung Pada Masa Penjajahan Belanda
Pondok
Pesantren yang didirikan pada akhir tahun 1931, itu sudah tentu keadaan
Negara yang masih dalam genggaman Kolonial, sehingga tidak mengherankan
apabila pada saat itu banyak sekali halangan dan rintangan menghadang,
baik dari masyarakat sendiri yang mayoritas belum mengenal ajaran agama
dan sedikitnya pengetahuan juga dari pihak Kolonial yang menyebabkan
Alm. KH. Ruhiat harus keluar masuk penjara. Walaupun keadaan demikian
beliau dengan penuh kesabaran dan ketawakalan kepada Allah subhanahu
wata’ala, tidak henti-hentinya membina Pesantren ini dengan ikhlas,
memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para santri tanpa mengenal
lelah siang dan malam. Awalnya santri yang menetap di Pondok Pesantren
ini berjumlah kurang lebih 40 orang yang sebagian besar adalah yang ikut
dari Pesantren Cilenga, tempat beliau mondok. Di samping itu banyak
pula para santri yang pada malam hari mengaji dan siangnya kembali ke
rumahnya. Dan mereka ini berasal dari sekitar komplek Cipasung. Sebagai
pembinaan agama terhadap anak-anak usia muda, pada tahun 1935 didirikan
sekolah agama (madrasah diniyah). Sekolah inilah yang pertama sekali
didirikan di Pondok Pesantren Cipasung. Mengingat telah banyaknya santri
yang telah dewasa, maka untuk pengkaderan Mubaligh Islam pada tahun
1937 didirikanlah Kursus Kader Muballighin wal Musyawirin (KKM), sebagai
suatu wadah latihan berpidato dan musyawarah yang diadakan setiap malam
Kamis. Ketahanan aqidah dan jiwa patriotisme beliau dari pesantren
mengundang kecurigaan Belanda sehingga beranggapan pesantren dapat
mengancam kedudukan mereka. Terbukti dengan banyaknya ulama dan da’I
yang ditangkap dan dipenjarakan. Hal ini juga dialami Alm. KH. Ruhiat
yang pada tahun 1941 beserta Alm. KH. Zainal Mustofa dipenjara di
Sukamiskin selama 53 hari. Selama itu pengajian di wakilkan oleh KH.
Saefulmillah dan Alm. Ajengan Abdul Jabbar. Selang beberapa bulan
setelah bebas, tepatnya pada tanggal 6 Maret 1942, beliau bersama
berpuluh kiai lainya di tangkap lagi dan dipenjarakan di Ciamis. Namun
berkat pertolongan Allah pada tanggal 9 Maret 1942 Belanda dipukul
mundur oleh Jepang, maka beliau bersama kiai lainnya dibebaskan setelah
menjalani hukuman penjara selama 3 hari.
2. Pondok Pesantren Cipasung Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada
masa ini, pendidikan di Pondok Pesantren Cipasung dapat dikatakan
sedikit lebih maju yaitu dengan adanya keikutsertaan santri puteri dalam
mengaji kitab besar bersama santri putera dimana sebelumnya hanya dapat
mencapai ke kitab-kitab tingkat menengah seperti al-Fiyyah. Angkatan
pertama ini pelopornya adalah Alm. Hj. Sua, yang berasal dari Cilampung
Padakembang Leuwisari. Wafat Tahun1997 dan meninggalkan anak diantaranya
Hj. Dra. Djuju Zubaedah. Dengan adanya santri puteri yang sudah dewasa,
untuk mengkader mubalighoh maka pada tahun 1943 didirikan Kursus kader
Mubalighoh sebagai wahan latihan berpidato khusus bagi santri puteri.
Tidak sedikit gangguan dan rintangan yang menerpa beliau dalam tugasa
agama dan negara ini. Peristiwa yang menjadi bukti kebenarannya ialah
ketika terjadi pemberontakan Sukamanah pada tahun 1944, yang dipimpin
oleh Alm. KH. Zainal Mustofa, Alm. KH. Ruhiat serta kiai-kiai lainnya,
pada peristiwa tersebut ditangkap dan dipenjara di Tasikmalaya selama 2
bulan. Pengajian pada waktu itu diwakili oleh Alm. H. baruh dan KH.
SAefulmillah.
3. Pondok Pesantren Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Dengan
diproklamasikannya Kemerdekaan RI sejak tanggal 17 Agustus 1945 berarti
tidak ada satu egarapun yang menguasai negeri ini. Sejak itu Bangsa
Indonesia mulai membangun egaranya dalam bidangnya masing-masing demi
untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapai.
Demikian pula halnya Alm. KH. Ruhiat yang terjun di dunia Pesantren,
dengan diproklamasikannya kemerdekaan, beliau mengembangkan pesantren
yang diasuhnya baik dalam pendidikan agama maupun dalam pendidikan umum,
hal ini dibuktikan dengan
didirikannya lembaga sekolah formal di Pesantren Cipasung setelah
kemerdekaan dicapai bangsa ini. Meskipun Kolonial telah hengkang dari
bumi pertiwi, namun situasi keamanan masih belumlah stabil terutama
dengan datangnya kembali Belanda dengan agresi militernya yang ke II.
Keadaan ini berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan pendidikan Pondok
pesantren. Peristiwa yang mengerikan yang menimpa Alm. KH. Ruhiat pada
tahun 1949 waktu beliau sedang melaksanakan shalat Ashar bersama tiga
orang santrinya, Belanda berusaha membunuhnya dengan melepaskan tembakan
ke arahnya, namun berkat pertolongan dan perlindungan Allah SWT, usaha
ini gagal. Dan peluru bersarang pada tiga orang santrinya, yaitu saudara
Abdur Rozak yang berasal dari Tawang Banteng, saudara Ma’mun berasal
dari Rancapaku keduanya gugur sebagai syuhada dan seorang lainya yaitu
saudara Aen mendapat luka berat di kepalanya. Disamping itu adapula
santri, yang ketika itu berada di asrama, terkena tembakan, yaitu saudar
Abdul ‘Alim, beliau gugur sebagai syuhada, dan saudara Zaenal Muttaqien
yang tertembak punggungmya. Sedangkan Alm. KH. Ruhiat ditangkap dan
dipenjarakan di Tasikmalaya selama 9 bulan. Beliau dibebaskan kembali
pada tanggal 27 Desember 1949. Sementara itu pengajian dipegang oleh KH
Ilyas Ruhia.t. Walau beraneka cobaan dan ceriat pahit mengiringinya,
beliau tetap sabar dan tawakkal kepada Allah SWT dalam perjuangannya,
sehingga pesantrenpun tidak hanyut oleh zaman apalagi karam diterpa
gelombang. Malahan ini menjadi cambuk untuk pertumbuhan dan perkembangan
Pondok pesantren Cipasung ini. Adapun lembaga pendidikan yang didirikan
di Pesantren Cipasung setelah kemerdekaan yaitu pada tahun 1949
didirikan Sekolah Pendidikan Islam (SPI). Pada sekolah ini di samping
pendidikan agama diberikan pula pengetahuan umum, lima tahun kemudian,
yaitu tahun 1953 sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Menengah
Pertama Islam (SMPI) yang mendapat status DIAKUI tahun 1985 denagn nomor
802/102/Kep/i/1985 dan pada tahun 1994 statusnya menjaid DISAMAKAN.
Pada akhir tahun 1953 didirikan pula Sekolah Rendah Islam (SRI) yang
kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB), dan sekarang
menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sebagai kelanjutan MI, SMPI, pada_
tahun 1952 didirikan Sekolah Menegah Atas Islam (SMAI). Cita-cita beliau
untuk mengembangkan Pondok pesantren tidak berhenti sampai disitu saja,
akan tetapi beliau mampu pula mendirikan perguruan tinggi Silam yaitu 5
hari sebelum meletusnya pemberontakan G 30 S PKI tepatnya pada tanggal
25 September 1965 dengan Fakultas Tarbiyah yang pertama dibuka, dimana
pada tahun 1969 mendapat status DIAKUI dengan Surat Keputusan Menteri
Agama No.07 tahun 1969. sekarang statusnya meningkat menjadi
TERAKREDITASI. Pada tahun 1969 didirikan pula Sekolah Persiapan IAIN
yang kemudian pada tahun 1978 berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri
(MAN). Pada tahun 1970 didirikan pula Fakultas Ushuludin filial
Cipasung, namun dengan adanya pemusatan ke induknya maka Fakultas ini
hanya berjalan dalam dua tahun saja. Dan pada tahun 1992 didirikan pula
Madrasah Tsanawiyyah Cipasung (MTs). Semua lembaga-lembaga pendidikan
tersebut berada di bawah koordinasi suatu Yayasan Pesantren Cipasung
dengan Akta Notaris Yayasan No. 11 tahun 1967. Alm. KH. Ruhiat tidak
hanya aktif di dunia pesantren saja, namun beliau aktif pula dalam suatu
organisasi Islam yaitu Jam’iyyah Nahdlatul ulama. Jabatan yang pernah
beliau duduki ialah Ketua Syuriah PCNU tasikmalaya, Anggota Syuriah PWNU
Jawa Barat, dan A’wan PBNU. Dengan tersedianya berbagai pendidikan di
Pondok Pesantren, sejak MI sampai Perguruan Tinggi mnaka kian hari
bertambah pula santri yang berdatangan dari berbagai pelosok persada
tanah air khususnya daerah Jawa Baratd an DKI Jakarta. Hal ini
membuktikan bahwa Pondok Pesantren Cipasung dituntu dan diperlukan
keberadaannya yang harus dipertahankan kelestariannya, terutama dalam
mencetak kader Ulama Intelek dan Intelek Ulama. Di tengah-tengah
berbagai kesibukan dari aneka ragam kegiatan disaat umat sangat
memerlukan bimbingannya, apa daya hendak dikata tulisan takdir ilahi
berlaku atas diri beliau, tepatnya pada hari Senin jam 13.00 tanggal 17
Dzulhijjah 1397 H bertepatan dengan tanggal 28 November 1977 beliau
berpulang ke rahmatullah di bandung setelah mendapat perawatan dokter
selama 8 hari. Beliau meninggalkan 2 orang isteri dan 19 anak (9 putera
dan 10 puteri) sebagai penerus estafet perjuangan beliau, maka puteranya
yang bernama KH. Ilyas Ruhiat dikukuhkan sebagai pemegang tampuk
pimpinan Pondok pesantren Cipasung.